Wednesday, July 27, 2016

Reportase SI Hari Kedua: Diskusi Panel Ekonomi dan Panel Agama

Post oleh : Unknown | Rilis : 2:05 AM | Series :

Setelah pembukaan di hari pertama pada 24 Juli 2016 yang menggelar diskusi panel politik dan pendidikan, digelar pula di hari kedua pada 25 Juli 2016, diskusi panel mengenai ekonomi dan agama. Masing-masing digelar dalam satu sesi yang menghadirkan tiga panelis. Diskusi panel pertama tentang ekonomi diisi oleh Faisal Basri yang merupakan seorang ekonom, Sabeth Abilawa (Direktur Dompet Dhuafa), yang juga adalah tokoh ekonomi syariah, dan Tubagus Manshur yang merupakan akuntan publik yang saat ini sedang menempuh program doktoral ekonomi Islam di Universitas Kairo.

Faisal Basri sebagai panelis ekonomi yang pertama mengungkapkan bahwa tidak ada istilah ekonomi kerakyatan, yang ada cuma kapitalis, sosialis atau komunis. Semua sistem adalah kerakyatan tetapi kita lihat, rakyat yang memilih. Sejarah mencatat, bahwa Indonesia sudah pernah menjalankan semua sistem tersebut tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan atau perkembangan ekonominya melambat, baik itu dikomparasikan dengan negara kecil atau negara yang besar.

Selanjutnya Sabeth Abilawa menyampaikan  bahwa kita adalah negara yang besar di mana kita termasuk G-20. Sehingga kita harus memeliharanya. Kita harus merawat sambil terus memperbaiki kualitas SDM. Sabeth pun menyinggung ihwal diplomasi. Menurutnya, diplomasi kenegaraan bisa diwakili oleh masyarakat sipil sehingga bisa bergerak dengan bebas. Yang dimaksud adalah, ketika pemerintah sibuk dengan hal yang lain, lalu kita lah yang membuat perubahan tanpa menunggu pemerintah yang ada.  

Kemudian Tubagus Manshur, panelis ketiga, yang juga merupakan mahasiswa senior Indonesia di Mesir, memaparkan bahwa kegagalan ekonomi kapitalis dan sosialis adalah bumbu semangat untuk membentuk sistem ekonomi syariah oleh beberapa ulama. Sumber-sumber utama yang menjadi panutan adalah Al-Quran, Sunah, Ijma’ dan Qiyas para Ulama serta ‘urf atau kebiasaan masyarakat yang ada. Perkembangan ekonomi syariah sangat berkembang pesat sehingga ahli ekonomi Islam sangat dibutuhkan untuk hadir dan berpatisipasi pada produk-produk ekonomi syariah seperti pada DPLK Syariah, Pemeriksa Syariah, DPS, dll.

Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250 orang peserta, yang terdiri dari para delegasi PPI Negara, para delegasi dari BEM kampus di Indonesia, delegasi dari PPMI Mesir, dan para peserta umum dari kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Acara hari kedua ini bertempat di Auditorium Andalus Hotel Oasis, Giza. Setelah diskusi panel ekonomi selesai, dilanjutkan dengan diskusi panel media, yang menghadirkan para jurnalis handal dari media-media Indonesia. Di antaranya: Rizki Akbar Syah dari Inspira, Adrian Zakhary dari NET Tv, dan Akhyari Hananto dari Good News from Indonesia. Dialog ini pun dimoderatori oleh Dewi Anggrayni, yang merupakan Koordinator Biro Pers PPI Dunia. Kemudian selepas itu, dilanjutkan dengan diskusi panel agama yang diisi oleh Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. (Imam Besar Masjid Istiqlal), Romo Heru Prakosa dan Dr. Mukhlis Hanafi, MA.

Bapak Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa Islam telah dibajak oleh sekelompok kecil di kalangan kita dan mereka sama sekali tak merepresentasikan ajaran Islam. Kita perlu kembali Meneguhkan wajah Islam khas Indonesia, bukan Islam ala Timur Tengah juga bukan Islam ala Barat. Selanjutnya beliau masuk pada pembahasan radikalisme. Menurutnya, radikalisme merupakan ungkapan kekecewaan. Seorang analis mengatakan bahwa tipologi orang terbagi kedalam tiga. Satu, semua yang ada barat itu benar. Dua, apapun yang dari barat kafir, ketiga, prinsip menengah yang dikenal dengan jargon Al-muhafadzah ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah. Ini lah sebetulnya yang mainstrem, hanya saja media berperan besar dalam mendistrosi fakta yang ada. Baik garis kanan maupun kiri itu sebetulnya sedikit. Sayangnya, kita tidak memiliki media. Media sekarang ini dikuasai oleh garis keras. Dan salah satu kelemahan kita adalah kurang menulis.

Romo Heru Prakosa menyambung pembahasan radikalisme dalam agama. Beliau mengatakan bahwa faktor terorisme itu memang banyak, tapi kenapa selalu Agama yang disudutkan? Agama bisa dijadikan alat untuk meligitimasi apapun, termasuk tindakan-tindakan teror. Romo memberikan solusi agar toleransi antar umat beragama dapat berjalan. Beliau mengajak umat Agama untuk tinggal di komunitas Agama lain. Pemuka Agama perlu memiliki pengalaman umat Agama yang lain; keluar dari comfort zone.

Kemudian panelis ketiga, Dr. Mukhlish Hanafi, MA., yang merupakan Sekjen IAAI (Ikatan Alumni al-Azhar Internasional) cabang Indonesia, mennerangkan bahwa terorisme sudah menjadi isu global, dan Islam selalu tertuduh. Sedangkan terorisme tak mengenal Agama, dan terorisme adalah musuh semua Agama. Penelitian UI menyebutkan bahwa para pelaku terror adalah orang-orang waras, tapi mereka memiliki pemahaman keagamaan yang keliru. Keluhan paling mainstream dari kelompok-kelompok terror itu ialah: Toleransi dianggap sebagai sebuah kekalahan. Dengan nada penuh geram mereka selalu berkata: “Di saat saudara-saudara kita tertindas, masihkah kita harus berbicara tentang toleransi?" Mereka tak sadar bahwa sejujurnya toleransi adalah kekuatan. Zaman sekarang, orang bisa menjadi teroris dengan sendirinya.

(Mohamad Bakri)

google+

linkedin

Our Video